Rabu, 25 April 2012

Sebuah Cerpen: Pahit Duluan, Manis Belakangan

Fatimah menyerahkan kertas keterangan miliknya kepada petugas kecamatan yang duduk di balik meja. Orang itu membacanya sekilas, dan sepertinya langsung mengerti, "Silakan ditunggu, mbak. Nanti dipanggil." katanya singkat. Fatimah mengangguk, lalu memutar badannya, menghadap ke kursi-kursi tunggu yang disediakan di ruangan itu.

Hampir semua kursi terisi, kecuali satu kursi yang berada paling dekat dengan jendela. Alhamdulillah, batin Fatimah, yang langsung buru-buru duduk di situ sebelum ditempati orang lain. Di samping kanannya persis, duduk seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan. Berambut agak keriting sebahu. Wanita ini berwajah agak judes dan dingin. Mungkin sumpek, jutek atau mungkin juga ngantuk. Karena itu Fatimah berfikir dalam hati, sebaiknya ia tidak menegur wanita itu walau hanya sekedar basa-basi.

Suasana di kantor kecamatan pagi ini memang sudah cukup ramai. Semua orang datang berduyun-duyun datang untuk keperluan pembuatan e-KTP. Begitu pula dengan Fatimah. Setelah duduk, ia bermaksud mengedarkan pandangan matanya sekeliling ruangan. Ia memulainya dari arah kiri,menatap keluar jendela. Melihat orang yang berlalu lalang di luar. Kemudian kepalanya bergerak perlahan ke kanan.

Tiba2, mendadak ia merasakan sebuah hisapan yang kuat dari sebelah kanan. Huuufffttt. Seperti hisapan vacuum cleaner yang sangat kuat. Seakan2 jilbab lebarnya seperti ada yang menarik dari sebelah kanan. Hmmhpph, apaan ini. Fatimah melirik ke kanan. Oalah ternyata wanita di sebelahnya itu sedang menguap. Mulutnya terbuka lebaar sekali, mungkin sekitar dua belas centimeter lebarnya. Ia menguap kuat2 dengan mata terpejam, mulut menganga, dan kepala agak maju ke depan. Seakan2 hendak melahap segala sesuatu yg ada di hadapannya. Fatimah berusaha bertahan sekuat tenaga, atau kepalanya tertelan ke sebelah.

Dalam hitungan detik, hanya dari lirikan matanya Fatimah bisa melihat hampir seluruh isi mulut wanita tersebut: di antara 32 giginya, terdapat dua gigi yang berlubang yang sudah ditambal, bercak-bercak putih di lidah, dan tercium bau sambel goreng empela ati. Fiiuuh.

Ketika wanita itu akhirnya menutup mulutnya, Fatimah kembali bisa duduk dengan tegak. Ia lalu merapikan jilbabnya yang agak acak-acakan. Setelah menarik nafas dalam2, Fatimah kemudian memberanikan diri menyapa wanita tersebut, dengan senyuman cantiknya yang ramah, "Maaf, ibu muslim?"
Wanita itu kaget. Matanya masih berkaca-kaca bekas menguap tadi. "Eh iya muslim. Emang kenapa?"
"Maaf, karena ibu muslim maka saya berkewajiban memberi tahu ibu, bahwa menguap itu dari setan."
"Eh?" Wanita itu mengerutkan alisnya. Tiba2 ia baru sadar bahwa baru saja ia puas menguap dan gadis cantik berjilbab ini sedang mengguruinya. Tapi belum sempat ia berkata, Fatimah langsung menambahkan, "Dalam hadits Rasulullah shallalahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Imam Muslim, kalo kita menguap, kita disuruh menolaknya sekuat mungkin. Hadits shohih lho Bu."
"Eh apa urusannya ama situ? Saya menguap pake mulut2 saya, bukan pake mulut situ kan?" Wanita itu tersinggung. Nadanya sinis dan galak. Tentu saja ia merasa dipermalukan oleh anak bau kencur yang berusia jauh di bawahnya.
"Maaf, saya cuma memberi tahu apa yang saya tahu." jawab Fatimah sambil surut badannya ke belakang, kembali menegakkan duduknya. Suasana jadi ngga enak. Fatimah berharap hari ini cepat berlalu.

***

Lastri kembali menegakkan duduknya, menyandarkan punggungnya ke belakang. Duduknya sudah melorot. Berkali-kali ia menguap menahan kantuk yang amat sangat. Arloji di tangannya menunjukkan pukul delapan pagi lebih sedikit. Berarti kira-kira sudah setengah jam-an Lastri duduk di ruangan ini dan belum juga dipanggil oleh petugas kecamatan. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar, tapi kemudian kelopak matanya seperti dibebani karung beras, perlahan-lahan turun, menutup matanya. Lalu terpejam. Badannya terasa ringan. Melayang-layang. Tanpa sadar tubuhnya agak condong ke depan. Lastri merasa ia berada di sebuah tempat yang jauh, indah, sejuk, banyak pepohonan dan padang rumput yang hijau.

Lalu, tiba2 kursi di sebelahnya bergerak, seperti ada yang menduduki. Lastri terkejut. Mimpi indahnya berantakan seketika. Kini ia kembali berada di ruangan kecamatan yang sumpek, penuh sesak orang, dan sepertinya namanya belum juga dipanggil. Ngga ada lagi padang rumput hijau. Angin semilir. Udara yang sejuk.

Huh. Lastri merasa jengkel. Ia melirik ke kiri dengan sinis. Siapa sih si pengganggu tidurnya ini? Di sebelah kirinya telah duduk seorang gadis berjilbab lebar. Mungkin usianya awal dua puluhan. Cantik, berkulit bersih, mengenakan kaca mata berbingkai kecil. "Huh, reseh, ganggu orang aja." batin Lastri dengan kesal. Tapi mendadak serangan kantuk itu datang lagi. Begitu kuat. Mendorong dari dalam. Lastri menikmatinya. Mengharap bisa kembali tertidur seperti tadi. Perlahan ia pun menguap. Dengan mata terpejam, mulutnya terbuka. Slow motion. Lebar selebar lebarnya.
Menguaplah yang lepas. Yang lega. Ya begitu. Yang lepas. 
"Hooooowaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....eeeemmmmmm...."

Lastri merasa nikmat. Mulutnya kembali terkatup. Matanya masih terpejam. Tubuhnya kembali seperti hanyut ke alam mimpi.
Tapi tiba2 ada suara lembut menyapanya.
"Maaf, ibu muslim?"
Lastri terkejut. Matanya masih berkaca-kaca bekas menguap tadi. Eh, si gadis berjilbab tadi, ngapaaaain nanya begitu? Emang nya ngga keliatan ya kalo aku muslim. Aku muslim sejati, tauk! Batin Lastri yang merasa tidak suka ditanya begitu.
"Eh iya muslim. Emang kenapa?"
"Maaf, karena ibu muslim maka saya berkewajiban memberi tahu ibu, bahwa menguap itu dari setan."
"Eh?" Lastri mengerutkan alisnya. Kurang asem. Masih bau kencur udah mau menggurui. Tapi belum sempat Lastri berkata, gadis berjilbab itu berkata lagi, "Dalam hadits Rasulullah shallalahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Imam Muslim, kalo kita menguap, kita disuruh menolaknya sekuat mungkin. Hadits shohih lho Bu."

Mendidih darah di kepala Lastri. Ngantuknya seketika hilang, "Eh apa urusannya ama situ? Saya menguap pake mulut2 saya, bukan pake mulut situ kan?" Ia sangat tidak suka digurui begini oleh orang yang tidak dikenalnya sama sekali. Ini namanya mempermalukan orang. Lastri melotot matanya. Dan ia merasa puas melihat ada sedikit rasa takut di wajah gadis berjilbab itu. "Maaf, saya cuma memberi tahu apa yang saya tahu." jawabnya sambil surut badannya ke belakang. Lastri tetap menatap wajah gadis itu dengan penuh kebencian. Tapi gadis itu tidak menengok-nengok lagi.

***

Ditegur memang bikin esmoni ya.
Begitu pula yang dirasakan Lastri saat itu. Antara malu dan jengkel. Tapi walaupun pahit duluan, kejadian itu adalah pelajaran besar buat Lastri. Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi menguap seenaknya. Jika dorongan itu datang, Lastri akan menahannya kuat2, atau kalau tidak sanggup maka ditutupi mulutnya dengan tangan.

Begitu lah ciri orang yang hanif. Jika disentuh maka ia tersentuh, jika dinasehati maka ia berusaha memperbaiki. Lastri tidak ingin kejadian ditegur orang itu terjadi lagi. Lastri ingin mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Termasuk -ah- soal yang satu ini.
Lastri menghela nafas. Minggu demi minggu soal yang satu ini mengganggu benaknya. Gelisah dalam perenungan, menyadari sebuah kenyataan. Bahwa ternyata orang harus bertanya dulu kepadanya apakah dia muslim atau bukan karena tidak mengenakan busana muslimah.

Hmm. Ada rasa yang tidak nyaman dibegitukan.
Tiba-tiba Lastri teringat ada sebuah toko busana muslimah di ujung pertigaan sana. Toko berpintu kaca yang sering dilewatinya, memajang gamis2 panjang dan jilbab2 beraneka ragam. Kurasa nanti siang aku akan sempatkan waktu mampir kesana, pikirnya dalam hati sambil tersenyum manis.

[cerpen fiksi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar