Selasa, 11 Oktober 2011

Gangguan Jin Jahat (Ilmu Teluh)

Ini cerita lama beberapa tahun lalu. Aku, Mama K dan Kevin selalu membiasakan tidur paling malam jam sembilan. Atau jam setengah sepuluh lah, kecuali ada urusan lain yang harus diselesaikan lebih dahulu.
“Orang dewasa itu tidurnya paling enam jam aja udah cukup. Semakin tua semakin sebentar tidurnya.” kataku kepada Mama K ketika baru saja naik ke tempat tidur. “Nah kaya kita gini ini, kalo sebenarnya tidur enam jam aja udah cukup, berarti kita harus tidur jam sembilan malem, supaya bisa bangun jam tiga pagi, ketika Allah turun ke langit dunia.”
“Biar bisa bangun Tahajud ya Pa.” kata Mama K.
“Iya.” jawabku.
Kata Mama K sebelum tidur, “Jangan bosen-bosen untuk ngebangunin aku sholat malam ya.” Aku tiba-tiba teringat sebuah hadits, di mana Rasulullah Muhammad S.A.W. bersabda,
"Semoga Allah Merahmati seorang laki-laki (suami) yang bangun dan shalat malam, lalu ia membangunkan istrinya. Jika menolak, ia percikkan air ke wajahnya"(HR. Abu Daud).

Tapi entah kenapa, walau pun malam itu waktu menunjukkan sekitar pukul sepuluh, aku belum mengantuk. Aku tiba-tiba merasa sangat ingin membeli mie ayam yang kebetulan lewat di depan rumah. Bunyi ting-ting-ting (bukan ayu ting ting) begitu merdu memanggil-manggil di telinga. Aku langsung keluar rumah dan melihat gerobak mie ayam warna biru tua, sedang didorong oleh seorang penjual mie ayam bertubuh tinggi kurus berwajah pucat, bermata cekung. Di luar, suasana sudah sepi, dingin, gelap. Hanya diterangi rembulan, lampu jalan dan lampu petromaks yang terpasang di gerobak mie ayam.
Kalau kamu mengira si penjual mie ayam ini ternyata hantu, hahaha enggak-enggak, kebetulan saja ia sedang tidak begitu sehat sehingga wajahnya terlihat pucat (wkwkwk ngarang).
Aku lalu minta dibuatkan satu mangkok mie ayam. Si penjual pun mulai memasakkan untuk pembelinya. Sambil menunggu, aku berdiri sambil mataku beredar lihat kanan kiri, atas bawah. Garuk-garuk sana garuk-garuk sini. Aku juga menatap langit. Setiap kali melihat langit, aku bisa berlama-lama menikmati kebesaran Allah. Melihat bintang-bintang yang sepertinya bergerak berjalan beriringan, padahal awan-awannya yang bergeser di tiup angin. Melihat bulan yang bulat bercahaya, jadi merasa betapa kecilnya kita dihadapanNya.
***
“Itu bintang apa Pa?” tanya K ketika suatu hari kami baru keluar dari jamaah sholat Subuh di langgar lor, mushola di samping rumah kami. Anak-anak kecil lain berkerumun di sekitarku, menunggu jawaban. Kevin menunjuk sebuah bintang besar yang begitu jelas, dengan ukuran lebih besar dari bintang-bintang lain.
“Oo, itu bukan bintang. Itu planet venus sebenarnya. Tapi ada juga yang nyebut itu bintang kejora, atau bintang fajar.”
“Wah, namanya kok kaya surat Al Fajr.” kata Kevin waktu itu karena nama bintang fajar tiba-tiba mengingatkannya pada salah satu nama surat di Al Qur’an. Aku hanya tersenyum. Anak-anak itu ingatannya selalu lekat pada apa yang dia suka. Kalau sehari-harinya suka Naruto, maka hal-hal disekelilingnya akan mengingatkannya pada cerita kartun itu. Wah kaya jaketnya Naruto, atau wah mas itu rambutnya kaya Sasuke –salah satu tokoh cerita di situ. Kalo sukanya musik, tentu liat orang pake kaca mata item lgsg wah kaya Radja padadang padadang. Atau liat rambut nutupin muka lgsg 'wah kaya Andika Kangenband'.
Dan aku tahu, bahwa Kevin suka sama salah satu ayat di surat Al Fajr yang selalu diulang-ulang oleh Imam Masjidil Haram di rekaman mp3 murotal Al Qur’an yang sering kami dengarkan di mobil.
“Kenapa Pa, kok orang itu bacanya diulang sampe dua kali.” tanya Kevin yang duduk di jok belakang mobil. “Artinya apa Pa?”
“Orang ini Imam Masjidil Haram, K.” kata Mama K.
Aku lalu menjelaskan, “Ini surat Al Fajr, K. Ayat dua puluh tiga. Yang dibaca dua kali itu,"Wa jiiiii-a yauma idzim bi jahannam.Wa jiiiii-a yauma idzim bi jahannam." Artinya, pada hari itu diperlihatkanlah Jahanam. Lalu dilanjutkan dengan suara bergetar, "Yauma-idziy yatadzakkarul insaanu wa annaa lahudz dzikroo." Artinya, pada hari itu teringatlah manusia, tetapi apa gunanya ingatan itu (lagi)?”
“Nanti neraka jahannam itu akan diperlihatkan ke semua mahluk di padang mahsyar.” ceritaku, “Kan serem tuh. Neraka jahannam marah, menggelegar. Suara gelegarnya menakutkan semua orang. Semua nggak ada yang sanggup berdiri, bahkan Nabi-nabi pun berdiri di atas lututnya. Saat itu lah manusia-manusia pada nyesel ama dosa-dosanya waktu di dunia, duh ngapain dulu suka bohong, ngapain dulu suka nyuri dan lain-lain.” kataku menjelaskan kira-kira inti ayat itu, “Tapi kata Allah, ya udah percuma, buat apa diinget-inget lagi. Kan udah terlambat.”
“Nah mumpung kita semua masih hidup nih. Masih bernafas. Belum kiamat. Belum di padang mahsyar.” Kira2 begitu nasehat Mama K yg kuingat, “Di ati-ati mulai sekarang. Nggak boleh sombong, nggak boleh bohong, nggak boleh nakal, nurut ama Papa Mama.”
Kevin terdiam di jok belakang. Mencoba mengerti.
Karena itu lah, walaupun Kevin belum hafal surat Al Fajr, tapi ia begitu terkesan dalam hatinya. Sehingga ia langsung menyebut nama surat itu, ketika melihat bintang fajar di langit pagi.
***
Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu, sambil menikmati keindahan langit malam. Namun tiba-tiba, aku begitu dikejutkan sebuah cahaya bulat melayang cepat  di langit. Terbang rendah menuju ke rumah. Aku merasa jantungku berhenti berdetak. Dan cahaya terbang itu tiba-tiba jatuh di belakang langgar lor.
Astaghfirullah, itu apa, pikirku. Tengkukku langsung merinding.
“Pak, tadi ada seperti cahaya, bola menyala gitu di situ.” kataku kepada penjual mie ayam sambil menunjuk ke atas. “Tapi terus jatuh di belakang langgar.”
Si penjual mie ayam yang kurus dan berwajah pucat itu melihat ke arah telunjukku, dan tidak melihat apa-apa di langit, “Wah itu paling ilmunya suzannah itu. Hahahaha.” Dia tertawa sendiri. Tapi aku tidak tertawa. Aku merasa ada yang tidak beres. Jangan-jangan itu yang disebut santet?
Sambil membawa mangkok mie ayamku ke dalam rumah, aku lalu mengingatkan Mama K dan Bapak Ibu mertua yang kebetulan belum tidur. “Ma, Bapak, Emak, siap-siap ya, sepertinya kita akan diserang malam ini.”
Wajah mereka tampak terkejut. Diserang apaan? Aku pun kemudian bercerita apa yang dilihatnya barusan. Mama K dan Bapak sama-sama menduga ini pasti santet. Aku tidak tega sebenarnya menceritakan hal ini, tapi memang harus disampaikan supaya semua orang di rumah itu berjaga-jaga. Walaupun ternyata malam itu tidak ada apa-apa hingga pagi. Alhamdulillah.
***
Keesokan harinya, di pagi, siang dan petang tidak terjadi apa-apa di rumah. Kegiatan dilaksanakan seperti biasa, hingga akhirnya aku pulang dari kantor. Pukul sembilan malam Kevin tidur lebih dulu, sementara aku dan Mama K masih bercakap-cakap di kamar. Ketika tiba-tiba Kevin menangis kencang, seperti menjerit tertahan, tapi dengan mata tetap terpejam. Kami langsung bergegas ke kamar sebelah. Lampu kamar pun dinyalakan.
“Lho Kevin kenapa?” tanya Mama K keheranan. Di tempat tidur dengan sprei yang acak-acakan, tampak Kevin berbaring menangis sambil bergerak-gerak seperti meronta-ronta. Matanya tetap terpejam dengan alis berkerut.
“K? K? Bangun, Nak.” Bisikku sambil menepuk-nepuk Kevin. Mungkin sedang mimpi buruk, aku bermaksud membangunkannya.
Kevin tetap nangis, seperti ketakutan, berkeringat, berteriak-teriak dengan mata tetap terpejam. Aku dan Mama K pun menjadi bingung, ada apa ini. “K kenapa? Bangun Nak, ini Papa Mama.” kataku. Tapi Kevin tetap meronta-ronta, menangis ketakutan dengan mata masih terpejam.
Aku melihat ke jam dinding. Pukul sepuluh malam. Persis seperti saat malam kemarin aku melihat bola cahaya yang kemudian melintas dan jatuh di belakang langgar lor. “Ma, kita diserang, ayo baca-baca Ma.” Aku langsung menggendong Kevin.
“Santet yang kemaren?” Mama K terkejut. Mukanya seketika berubah menjadi pucat.
“Kayanya gitu.” kataku sambil mengelus-elus kepala Kevin yang direbahkan di pundaknya.  Di telinganya aku bisikkan Ayat Kursi. Tangisan kencang Kevin berubah menjadi erangan lirih, ngggg… nggg…
“A’udzubillahiminasysyaitonirrojim.” bisik Mama K lirih.
Sementara aku dan Kevin di kamar depan, Mama K lalu menuju ke belakang hendak mengambil air wudhu, tapi ternyata di kamar belakang terdengar suara Bapak muntah-muntah. Hoek hoek hoek! Byoor! Mama K langsung lari ke kamar ayahnya, dan melihat beliau sudah muntah-muntah di lantai. “Pa, Bapak Pa, muntah-muntah.” teriak Mama K.
Tampak tubuh lemah beliau miring di pinggir tempat tidur. Kepalanya agak ke bawah. Dari mulutnya keluar seluruh isi makan malamnya tadi. Muntahannya tergenang di lantai kamar. Ibu mertua pun sibuk membersihkan.
Ya Allah, ternyata yang diserang adalah anggota keluarga terlemah di rumah ini. Aku di kamar depan merasa cemas sekali. Sambil membaca Ayat Kursi,aku membelai-belai rambut Kevin yang saat itu tidur pulas lagi. Ternyata gangguan jin ini datang menyerang bergantian. Ketika Kevin menangis meronta-ronta, Bapak di kamar belakang tidur pulas. Tapi ketika Kevin diam, Bapak di belakang tiba-tiba muntah tak henti-henti.
Masya Allah, merinding bulu kudukku.
Sambil membersihkan muntahan di lantai, Mama K menyuruh Bapak mengaji, “Bapak baca Ayat Kursi nggih Pak. Al Fatihah, An Naas, Al Falaq, Al Ikhlas.”
Bapak mengangguk sambil menyeka mulutnya sendiri dengan kain selimut. Lalu ia merebahkan kepalanya lagi di bantal. Nafasnya naik turun, berat sekali. Tiba-tiba ia terbangun, dorongan dari dalam perutnya menekan lagi ke atas. Hmpppf, ia muntahkan lagi isi perutnya ke lantai yang baru saja dibersihkan Ibu mertua. Hoek hoek hoek! Byoor!
“Ya Allah, Bapak.” pekik Mama K sambil berurai air mata. Berkali-kali seperti itu. Bapak lalu kembali menyandarkan punggungnya. Sementara dari kamar depan lagi-lagi terdengar jerit tangis Kevin yang begitu memilukan, seperti anak yang ketakutan melihat sesuatu. Mungkin jin jahat yang dikirim sedang menakut-nakutinya.
Suasana malam itu tegang sekali. Tidak putus-putus semuanya mengaji. Tapi gangguan jin yang tidak tampak itu tetap tidak berhenti-henti. Ketika Kevin sudah tertidur, tiba-tiba teriak menjerit-jerit lagi. Tiba-tiba tertidur, kemudian ganti Bapak yang muntah-muntah, lalu Kevin menjerit-jerit lagi.
Aku memeluk Kevin erat-erat sambil terus mulutku menyebut nama Allah, memohon perlindungan, sementara Mama K di kamar belakang menjaga Bapak yang memang sudah sepuh dan sakit stroke. Aku tidak takut sama sekali terhadap gangguan jin. Tapi siapa sangka, yang diserang Kevin dan mertua. Hmmh. Kenapa harus Kevin, anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini, pikirku sambil mencabuti poster-poster gambar kartun di dinding kamar Kevin yang ditengarai bisa menjadi tempat bersembunyi jin.
“Ma, maa.” teriakku dari kamar depan. Mama K berlari-lari menghampiri, “Apa?”
“Itu semua foto-foto, gambar, mainan-mainannya Kevin yang dipajang, action figure semua bakal jadi tempat sembunyi setan.” kataku, “Ayo itu semua kita masukin ke laci lemari.” Mama K mengangguk. Betapa malam itu ia melihat tidak ada sama sekali tatapan takut di mata suaminya. Hal itu lah yang mungkin membuat Mama K menjadi semangat dan berani.
Kami berdua sambil tetap membaca ayat-ayat suci Al Qur’an lalu mulai membalik-balik semua pigura di dinding jadi menghadap ke tembok. Poster-poster kartun dicopoti. Action figure yang sudah tertata rapi di lemari kaca semua diraup oleh Mama K lalu dimasukkan ke laci lemari. Foto-foto di ruang tamu semua diturunkan di lantai.
Hoek hoek! Bapak muntah lagi di kamar belakang. “Udah Mama di belakang aja nemenin Bapak.” seru Aku. Mama K lalu berlari-lari ke belakang.
Aku memeluk Kevin erat-erat. Anak kecil lima tahun ini belum tertidur pulas. Masih mengerang-erang lirih seperti tadi. Aku mengelus-elus punggung Kevin sambil tak henti-henti mengaji, berharap mudah-mudahan jin-jin pengganggu itu menjadi takut dan segera pergi.
Mama K kembali ke depan. “Bapak tiduran ama dzikir.” katanya. Aku mengangguk tanpa menjawab. Mulutnya masih membisikkan ayat-ayat suci Al Qur’an di telinga Kevin.
“Di luar sepi banget ya?” tanya Mama K yang membuka gorden, mencoba melihat ke luar rumah. Lalu keduanya membuka pintu ruang tamu.
Angin dingin menerpa ke wajah kami. Suasana di luar sepi, dingin, dan sangat gelap. Bukan gelap karena malam mendung tanpa bulan saja, tapi juga gelap karena kabut yang sangat pekat turun mengaburkan pandangan. Rumah depan bahkan tidak kelihatan. Hanya tampak samar-samar bentuk bangunannya.
“Serem, Pa.” kata Mama K. Bulu kuduknya merinding.
“Ya udah ayo masuk aja.” bisikku sambil kembali menutup pintu. Kami kemudian menuju kamar belakang, berkumpul bersama Bapak dan Ibu mertua. Kevin tidak lagi mengerang seperti tadi. Sepertinya sudah pulas tertidur. Mungkin untuk sementara. Mungkin Bapak akan segera muntah-muntah lagi.
Siapa sangka tiba-tiba turun hujan. Suara rintik-rintiknya terdengar begitu indah di luar jendela. Mama K melirik jam dinding di kamar. Tepat pukul tiga dini hari saat itu. Hujan turun, tidak begitu deras.
“Ya Allah, Pa. Hujan!” kata Mama K setelah bunyi rintik hujan semakin jelas terdengar dari dalam kamar.
“Ya Allah, alhamdulillah.” bisikku sambil tersenyum lebar. Hujan adalah rahmat dari Allah. Mudah-mudahan Allah datang menolong melalui hujannya. Kami kemudian kembali ke kamar depan, bermaksud menidurkan Kevin.
“Lho itu poster ku mana Pa?”
Heh, Kevin bersuara? Sudah bangun? Mama K dan aku tersenyum lebar.
“Itu posterku mana, Pa?” tanya Kevin yang masih tetap berada dalam gendonganku. Lima jam Kevin dalam gendongan, dan kini ia tampak sudah bangun, segar, seperti tidak ada apa-apa. Tangannya menunjuk-nunjuk ke tembok kamarnya yang sekarang bersih tanpa poster kartun seperti sebelumnya.
“Tadi dimakan kecoa, terus ama Papa ama Mama posternya dilepas. Kapan-kapan aja dipasang lagi.” kataku sambil memeluk erat Kevin, sambil mencium-ciuminya. “Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.” Gangguan jin itu benar-benar berhenti ketika hujan turun.

2 komentar:

  1. latar belakang cerita ini gmn Bah? kok sampai ada yg menyerang pake teluh...

    BalasHapus
  2. aku sih ngga tau siapa pelakunya (drpd ntar suudzon ya).
    yg jelas saat kejadian itu aku lg ada sengketa ama pihak pamong desa, lagi rame kasus, gara2 pihak pamong ngambilin uang BLT warga miskin masing2 seratus ribuan.
    tp alhamdulillah happy ending.
    org yg bersangkutan akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.

    BalasHapus