Selasa, 21 Juni 2011

Panglima Perang Yang Mengangkat Gunung


Eh eh aku mau cerita nih. Bukan dongeng yang sudah lama beredar, lha wong ini cerita karanganku sendiri, hahahaa. Etapi ini basic on true story lho. Jadi ini bener-bener real story, cuma dikemas berbeda saja untuk menyamarkan cerita aslinya. Nama-nama tokohnya juga mirip-mirip nama aslinya hihihihi. Yaaah mudah-mudahan ada manfaat yang bisa dipetik ya, gan. Bismillah.
Jadi jaman dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin seorang rajanya yang masih muda, bertubuh kurus dan berkumis tipis, yang bernama Sultan Mulud. Dalam memimpin kerajaannya, Sultan Mulud dibantu oleh tiga orang Jenderal besar, yaitu Jenderal Usman yang terkenal paling pandai, Jenderal Wahid yang lucu, dan Jenderal Falah yang paling santai dan easy going. Masing-masing jenderal tadi memiliki dua panglima perang. Jadi total, ada enam panglima perang yang masing-masing memiliki pasukan tempur yang sangat kuat dalam menghadapi musuh.
Di antara keenam panglima perang itu terdapat seorang panglima yang tidak hanya gagah berani, tapi juga pintar dan tampan, bernama Ibnu Abdul Manan Bin Hasyim, yang berada di bawah perintah Jenderal Falah. Namun walaupun namanya ke-arab-arab-an, tapi Ibnu Abdul ini bermata sipit. Sebagian orang mengira ia masih ada keturunan jenderal-jenderal besar dari Mongolia.
Ibnu Abdul bukan orang yang terpintar, terkuat dan terhebat di antara panglima perang lain. Tapi entah mengapa, suatu hari Sultan Mulud memanggilnya menghadap. Sang raja memerintahkan Ibnu Abdul untuk mengangkat sebuah gunung, dan memindahkannya ke tempat lain untuk menghalangi serangan musuh.
"Tahukah engkau wahai Ibnu Abdul." kata Sultan Mulud, "Dua jenderal menolak perintahku ini dikarenakan mereka merasa tidak sanggup."
"Tapi Yang Mulia, bukankah Jenderal Usman adalah jenderal terpandai di negeri ini. Dia pasti sanggup mengangkat gunung itu."
"Memang benar." jawab Sultan Mulud. "Tahun lalu, Jenderal Usman sudah sanggup mengangkat gunung yang lain. Dalam waktu delapan bulan, gunung itu akhirnya berhasil dipindahkan. Tapi segala tenaganya telah terkuras habis untuk itu. Aku tidak tega memberi tugas yang serupa tahun ini kepadanya." jawab Sultan Mulud.
"Tapi Yang Mulia, bukankah Jenderal Wahid akan sanggup mengangkatnya?"
"Jenderal Wahid menyatakan dia tidak sanggup, apalagi ketika dia tahu bahwa gunung ini harus dipindahkan dalam waktu empat bulan saja."
"Apa? Empat bulan saja?" Ibnu Abdul terkejut. Lemas lututnya. "Wahai Yang Mulia, Jenderal Usman yang terpintar saja baru sanggup memindahkan dalam 8 bulan, bagaimana bisa aku mengangkatnya dalam 4 bulan?"
"Tapi pimpinanmu Jenderal Falah menyanggupi tugas ini." tegas Sultan Mulud. "Jenderal Falah terlalu santai, Yang Mulia." sanggah Ibnu Abdul, "Dia tidak mengerti apa yang dihadapinya."
"Ibnu Abdul. Aku telah memutuskan perintah!" bentak Sultan Mulud dengan kesal. "Laksanakan perintahku! Atau empat bulan ke depan, musuh akan dengan mudahnya masuk menyerang kerajaan kita. Kupercayakan pundakamuu untuk melaksanakan tugas ini." Dicabutnya pedang dan diletakkan di atas pundak Ibnu Abdul.
Ibnu Abdul menghela nafas. Ia lalu berdiri dan mengangguk mantap. "Siap, Yang Mulia."
Ibnu Abdul terduduk lemas di ruang kerjanya. Ia tahu ia tak sanggup. Terlalu berat mengangkatnya sendirian. Pertama-tama ia tak tahu caranya. Kedua, pasukan bala tentaranya juga tak akan cukup mengangkat gunung itu. Ia tidak mungkin minta bantuan pasukan lain, karena masing-masing sudah punya tugasnya masing-masing yang tidak mungkin ditinggalkan. Sempat ia hendak bertanya tips dan trik pada Jenderal Usman, tapi ah, ia batalkan. Gengsi rasanya. Dulu pernah ia meminta bantuan beliau tapi sepertinya Jenderal Usman agak ogah-ogahan. Hal itu lah yang membuat Ibnu Abdul membatalkan niatnya.
Tapi Ibnu Abdul hanya yakin pada Allah. Bahwa kepada Allah lah ia meminta dan memohon pertolongan. Ibnu Abdul inget sebuah hadits Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami ra bahwa ia bercerita, “Aku pernah menginap di rumah Rasulullah SAW. Aku membawakan air wudhu dan keperluan beliau. Beliau berkata, ‘Mintalah sesuatu.’ Aku menjawab, ‘Aku ingin menjadi orang yang menemanimu di Surga.’ ‘Atau ada permintaan lain?’ Tanya beliau. ‘Itu saja.’ Jawabku. Rasulullah SAW bersabda: “Bantulah aku untuk memenuhi keinginanmu itu dengan memperbanyak sujud..” (HR. Muslim)
Maka hari demi hari Ibnu Abdul mulai disibukkan hanya dengan memperbanyak ibadahnya. Diawali dengan cium tangan orangtuanya untuk memohon bantuan doa, lalu bangun dini hari untuk sholat tahajud, sholat dhuha, puasa sunnah, banyaaaaak banyakin sedekah dan segala amalan solehah yang lain. Menjalankan semua perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Teruuuus saja hanya itu.
Ia bener-bener merasa kemampuan, kepandaian dan tenaganya tak akan sanggup mengangkat gunung itu, jadi hanya kepada Allah lah ia meminta.
Hari demi hari pun berlalu. Minggu ke minggu. Belum ada jawaban atas doa-doanya. Namun tak sedikit pun keyakinannya berkurang. Allah akan menolongnya. "Mudahkan ya Allah. Mudahkah ya Allah." Itu saja yang dipanjatkannya selalu.
 Bulan demi bulan pun bergeser. Waktu semakin mendekati jatuh tempo. "Ya Allah tak pernah sedikitapiun aku meragukanMu." bisik Ibnu Abdul dalam doanya.
Sampai tiada diduga-duga, si gunung meringankan bobotnya sendiri.
Ya Allah ya Robbi. Jawaban itu bener-bener ada, ya Allah. Tiba-tiba panglima-panglima perang lain ikut membantu, tanpa dimintai bantuan. Di detik-detik akhir, tiba-tiba Jenderal Usman yang terkenal pintar itu berdiri di belakangnya, "Wahai Ibnu Abdul, maukah kau kubantu untuk mengangkat gunung itu?" Subhanalloh. Keyakinannya terbukti!! Allah menolongnya dengan cara yang tidak diduga-duganya sama sekali. Hingga akhirnya gunung itu pun terangkat dan dipindahkan, alhamdulillah.
***
Ibnu Abdul itu aku. That's why aku bilang ini kisah nyata. Tapi Ibnu Abdul juga bisa berarti kamu. Bisa kita.
Gunung itu masalah kita. Masalah yang sangaaaaaaatttt berraaat yang sdg kita alami dan ada jatuh tempo nya pula. Misalnya target penjualan tiga mobil yang harus dipenuhi dalam waktu sebulan, atau silakan kerja di tempat lain. Atau hutang denda puluhan juta yang harus dilunasi dalam waktu seminggu, atau rumah akan diambil paksa. Semmua serba kepepet, semua serba terdesak. Dada sesak, nafas ngos-ngosan. Pundak tak sanggup lagi membawa beban ini.
Cuma Allah gan tempat kita meminta.Yakkkkiiiiin. Yaaakkiiiiin, seperti yakinnya Ibnu Abdul pada Allah. Minimal 17 kali dalam sehari kita bilang, "iyyaaka na'budu wa-iyyaaka nasta'iin"
Yang artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah [a], dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. [b] (QS Al Fatihah: 5)
[a] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapunya.
[b] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
*sumber tafsir dari alquran-indonesia.com
Tuh.
Jelasss.
17 kali sehari kita baca itu, masa ngga yakin.
Sholat sunnah 2 rakaat sebelum subuh itu lebih besar pahalanya daripada bumi dan segala isinya. Kalau cuma target penjualan tiga mobil, atau hutang puluhan juta, akan terasa jadi kecil kalau kita yakin dengan kekuasaan Allah.
Yuk, imani dulu yang ini. Yakin dulu seyakin-yakinnya Allah akan memudahkan semua masalah kita. Sembari kita terus ikhtiar, berdoa, ayo pannnnnnntaskan diri kita dulu. Mudah-mudahan setelah kesulitan-kesulitan ini, kita diberi kemudahan-kemudahan.
Fa inna ma'al usri yusroo.
Inna ma'al usri yusroo.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar