Rabu, 27 Februari 2013

Cerpen: Hutang Mang Jamil

[Fiksi]


Rieke terkejut ketika Mang Jamil, officeboy yang bekerja di lantai gedungnya tiba-tiba berdiri persis di samping mejanya, mengenakan jaket parasit yang resletingnya dikancingkan hingga leher. Sekilas mirip gaya jaketnya Noel Gallagher vocalis Oasis, tapi yang ini versi Sunda dan berambut keriting. Mang Jamil ini warga Kuningan yang merantau seorang diri dari Jakarta, sementara keluarganya tetap berada di kampung halaman sana. Seminggu sekali dia mudik menjenguk anak istri.

"Ibu, mohon maaf, Ibu." kata Mang Jamil dengan logat khas Sundanya. Pundaknya agak diangkat dan kepala diangguk-anggukkan sopan beberapa kali ke depan.
"Ya Mang?" tanya Rieke.
"Saya butuh uang, Bu. Barangkali ada saya mau pinjem.." Rieke langsung mencari-cari tasnya di meja. ".. buat berobat. Sepertinya saya sakit.." Rieke mengeluarkan dompetnya. ".. tapi belum ada uang. Insya Allah bulan depan setelah gajian saya lunasi."
"Butuh berapa Mang?" tanya Rieke.
"Seratus kalo ada Bu."
Hmmpff. Hanya seratus ribu ya? 
Bagi sebagian orang, uang seratus ribu hampir tidak ada artinya, namun bagi sebagian lain, harus membungkukkan badan memohon pinjaman dari orang lain.
Rieke pun mengeluarkan selembar uang merah dari dompet dan menyodorkannya kepada Mang Jamil sambil tersenyum hangat, "Cepet sembuh ya, Mang."
"Makasih ya Bu. Maaf nih udah ngrepotin."

Rieke cuma tersenyum tanpa menjawab. Baginya uang seratus ribu bukan apa-apa. Rieke selalu berprinsip bahwa dia hanya meminjamkan uang sebesar kapasitasnya memberi. Kecuali kepada sanak keluarga yang memang sangat urgent membutuhkan bantuan, Rieke bisa mengabaikan prinsipnya tadi.

Mang Jamil ini tipe orang yang andap asor, sopan, santun dan ringan tangan. Tidak ada sedikitpun keengganan untuk menolong orang sepertinya. Dalam hati Rieke membatin, kelak saat Mang Jamil mengembalikan hutangnya, Rieke akan berkata, "Ngga usah dikembalikan, itu buat Mang aja." Ah, pasti Mang Jamil akan merasa senang dan memuji Allah karenanya, "Alhamdulillah."

Namun hari demi hari terlewati sejak tanggal jatuh tempo yang disepakati. Mang Jamil ingkar janji. Rieke mulai merasa jengkel. Namun Rieke berusaha sebisa mungkin memberi udzur, mungkin begini mungkin begitu. Bukankah memberi kelonggaran sehari sama dengan bersedekah? (1).

Tapi ini sudah seminggu lebih dari tanggal jatuh tempo!
Rieke pun semakin gusar. Mang Jamil seperti berusaha menghindar. Kok jadi begini? Apakah Mang Jamil memang sengaja nakal tidak mau melunasi? Sengaja hendak mengemplang hutang (2) ?

Rieke lalu menarik nafas dalam-dalam dan beristighfar.
Bukankah sejak awal dia memang berniat untuk membebaskan hutangnya kepada Mang Jamil? Mungkin memang ada sebagian orang yang berhutang dengan beritikad tidak baik sejak awal. Namun Rieke memilih untuk berkhusnudzon bahwa Mang Jamil tidak seperti itu. "Beri udzur, Rieke. Beri udzur." bisik kata hatinya (3).

Kalau memang sejak awal ingin menolong, kenapa harus menunda-nunda berbuat baik? 
Siapa tahu beberapa minggu sebelum jatuh tempo ini Mang Jamil sudah kelabakan pontang-panting untuk menutup hutangnya? Mungkin bukan hanya kepada Rieke, tapi juga ada hutang2nya kepada orang lain? Siapa tahu Mang Jamil benar-benar dalam kesulitan (4)?

Lalu bagaimana jika ternyata Mang Jamil memang berniat tidak akan melunasi sejak awal?
"Itu bukan urusanku." bisik batin Rieke di dalam hati. "Urusanku adalah selalu berkhusnudzon kepada saudaraku."

Maka hari itu, setelah dua hari Rieke tidak ke kantor karena dinas luar, dipanggilnya Mang Jamil ke meja cubicle nya.
"Mang."
"Eh iya Bu." Mang Jamil mendekat. Masih dengan jaket ala Oasis nya.
Rieke mulai bicara dengan tempo lambat, "Uang saya kan masih ada di Mang."
"Iya, Bu ini udah saya bawa." Mendadak Mang Jamil tergopoh-gopoh mengambil dompetnya di saku belakang celana. "Dua hari ini Ibu kan ngga ngantor, saya cari-cariin. Maaf saya..."
Rieke memotong, "Oh iya? Kemaren saya emang lagi dinas luar." Lalu uang yang disodorkan Mang Jamil ditolaknya, sambil berkata, "Uangnya untuk Mang Jamil aja. Ngga usah dikembaliin. Itu rejeki buat Mang Jamil."

Mukanya sumringah. Terang berbinar-binar. "Terima kasih Bu. Terima kasih Bu." katanya sambil membungkuk-bungkuk.
Hanya seratus ribu, tidak banyak.
Namun Rieke merasa ada yang mengalir sejuk di hatinya.

[Fiksi]


Catatan hadits: _________________

1) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memberi tenggang waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah.” (HR. Muslim)

Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya,“Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan, dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Majah, Ath Thobroniy, Al Hakim, Al Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah mengatakan bahwa hadits ini shohih)


Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

2) Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

3) Ja'far bin Muhammad rahimahullah berkata, "Apabila sampai kepadamu dari saudaramu sesuatu yang kamu ingkari, maka berilah ia sebuah udzur sampai 70 udzur. Bila kamu tidak mendapatkan udzur, maka katakanlah, "Barangkali ia mempunyai udzur yang aku tidak ketahui."
(Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman).

Abdullah bin Muhammad bin Munazil berkata, "Mukmin adalah yang selalu memberi udzur kepada saudaranya, sedangkan munafiq adalah yang selalu mencari kesalahan saudaranya."
(Abu Abrirrahman As Sulami dalam adab ash shuhbah)


4) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dulu ada seorang pedagang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang. Ketika melihat ada yang kesulitan, dia berkata pada budaknya: Maafkanlah dia (artinya bebaskan utangnya). Semoga Allah memberi ampunan pada kita. Semoga Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari)




based on true story, dgn nama tokoh dan karakter fiktif





Tidak ada komentar:

Posting Komentar