Jumat, 22 Maret 2013

Abi Nikah Lagi

[fiksi]

Saat itu Ruslan sedang membaca kitab di kamar, saat tiba-tiba Fatimah istrinya yang masih mengenakan mukenah  menghampirinya dengan air mata meleleh di pipi.
"Abi..." bisiknya.
Ruslan mengerutkan kening. Ada apa lagi ini? Diletakkannya kitab itu di meja dengan posisi masih terbuka, lalu membiarkan istrinya duduk di sisinya. "Ada apa?" tanya Ruslan dengan lembut. Fatimah menatap mata suaminya dalam-dalam dengan mata berkaca-kaca.
"Abi.." Fatimah mulai berkata lirih, "Kalo aku meninggal.."
Ruslan mengusap air mata di pipi istrinya dengan ibu jari. Lalu Fatimah meneruskan ucapannya yang terpotong tadi, "Kalo aku meninggal, abi nikah lagi ya?"
Ah.
Pertanyaan apa lagi ini. Pertanyaan masa depan yang hanya bisa dijawab kalau Ruslan memiliki mesin waktu yang cuma ada di cerita science fiction.


Dengan wajah datar, Ruslan mengangkat kedua bahunya sekali, "Ngga tau." katanya.
Fatimah belum puas dengan jawaban ngga tahu begitu. Karena jawaban itu masih fifty-fifty, bisa iya atau bisa tidak. Dan Fatimah seketika menyimpulkan sendiri bahwa jawabannya pasti iya. Ya, pasti iya, suaminya akan menikah lagi.
"Nyari istri yang gimana? Yang pinter ya?" tanya Fatimah lagi. "Cantik, jilbabnya panjang, yang sholihah ya bi?" Bagaikan rentetan peluru dari AK-47 Fatimah memberondong suaminya dengan pertanyaan sekaligus jawaban yang tersedia.
Cukuplah bagi Fatimah jawaban ya, ya, ya dan ya, sesuai tebakannya.
Lalu dia akan menghabiskan sisa harinya dengan menangis nelangsa, terpuruk, merasa disisihkan oleh suaminya.


Ruslan masih menatap datar. Mungkin dia sedang berpikir akan menjawab apa. Tapi dia memang sedang tidak berpikir apa-apa. Hanya melamun, terdiam agak lama dan kosong, hingga akhirnya dia menjawab, "Iya, kali."

Deg.
Jawaban yang persis seperti yang ditebak oleh Fatimah. Suaminya akan menikah lagi dengan akhwat yang lebih cantik darinya, lebih pandai, sholihah, berjilbab anggun. Mungkin lulusan pondok pesantren terkenal. Mungkin hafal Al Qur'an. Mungkin lulusan fakultas ilmu hadits. Dan segala kemungkinan-kemungkinan lain yang semuanya serba lebih sempurna dibanding dirinya sendiri.

Lalu air mata Fatimah tiba-tiba mengalir semakin deras, tanpa bisa dibendung. Bibirnya mewek berbentuk lengkung. Snif snif, hidungnya pun berair. Bibir bawahnya bergetar-getar. Huhuhu huhuhu. Bahunya bergerak-gerak. Wajahnya sedih sekali. Nelangsa, karena suaminya akan menikah lagi. Menikah dengan perempuan lain yang jauh lebih sempurna dalam segala hal.

Padahal Ruslan hanya angkat bahu bilang "Nggak tau" dan menjawab singkat "Iya kali." atas pertanyaan yang sudah disediakan istrinya. Hanya itu.
Namun coba lihat bagaimana reaksi Fatimah atas itu. Begitu mudahnya perempuan menangis, pikir Ruslan sambil tersenyum. Kadang mereka memang suka mendramatisir suasana.Suka dengan hal-hal melow. Kisah cinta yang mengharu biru. Suka bermain-main dengan perasaannya sendiri.

Wajah datar Ruslan kini berubah menjadi tersenyum.
Dengan tatapan mata yang hangat, Ruslan lalu memeluk Fatimah erat-erat.
"Sinih sinih.." bisik Ruslan.
Fatimah lalu memeluk erat sambil membenamkan wajahnya di dada suaminya.
Lalu Ruslan menjelaskan dengan perlahan, "Ketika hari itu tiba." ucapnya, "Entah abi dulu atau umi dulu yang meninggal, maka putus sudah urusan kita saat itu dengan dunia."

"Hari itu daging kita, tulang kita, kulit dan darah kita, semua akan lebur kembali ke tanah.
"Hari itu kita tinggal seorang diri di alam kubur, hanya ditemani oleh amal shalih kita sebagai bekal di sana.
"Apakah rumah kita ini akan dijual? Apakah kelak anak-anak bisa kuliah? Apakah abi atau umi menikah lagi?
"Ah. Itu urusan dunia yang sudah bukan menjadi urusan kita lagi. Saat itu urusan kita adalah bagaimana menghadapi adzab kubur.

"Terus, kalo gitu buat apa kita sekarang memperpanjang angan kepada sesuatu yang di luar jangkauan kita?"
Lalu Ruslan melepas pelukannya, memegang kedua pipi istrinya, lalu menatap matanya dengan penuh kasih sayang. "Habis2in energi ngga penting kan?"
Fatimah mengangguk malu. "Cuma kepikiran aja, abi. Terus jadi mewek ngga jelas."
"Abis ini ngga usah lagi nanya begitu. Toh abi ngga tau jawabannya." kata Ruslan, tanpa pernah meninggalkan senyum di bibirnya, "Inget ini baik-baik deh.
Dari pada umi habisin waktu dengan menangis nelangsa mikirin yang engga-engga,
kenapa kita ngga habiskan hari kita dengan mempersiapkan bekal apa yang mau kita bawa -nanti- di alam kubur?"
Fatimah mengangguk lagi, sambil mencoba tersenyum. "Iya ya.
"Makasih ya abi." katanya.

Ruslan menutup nasehatnya dengan menukil sebuah hadits dari Rasulullah, "Tau ngga siapa orang mukmin yang paling pandai?
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits riwayat Ibnu Majah, Orang yang paling banyak mengingat kematian dan orang yang paling baik persiapannya untuk sesuatu yang datang setelah kematian. Mereka lah orang-orang yang pandai."

[fiksi]


2 komentar: